Malaysian Palm
Oil Association (MPOA), akan keluar dari keanggotaan Rountable Sustainable Palm
Oil (RSPO). Alasannya, karena RSPO gagal membuktikan perannya dalam
industri minyak sawit global. Sedangkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI) sudah mundur dari RSPO tahun lalu.
Menanggapi keluarnya GAPKI dan Malaysia dari RSPO, Yonas Sutisna mengatakan
bahwa hal itu sah-sah saja karena menurutnya RSPO hanya menjadi ‘penghambat’
kemajuan perkebunan sawit. Lagipula setiap negara sudah punya rambu-rambu
seperti ISPO untuk Indonesia dan MSPO untuk Malaysia yang lebih mumpuni. “Cukup
aneh jika ada suatu standar yang dibuat untuk sawit, namun yang membuat adalah
negara-negara eropa dan Amerika yang bukan penghasil sawit,” tuturnya.
Yonas juga mengungkapkan adanya wacana dari negara-negara Asia Tenggara
sebagai penghasil sawit utama untuk membuat standar semacam RSPO. “Sawit banyak
tumbuh di negara beriklim tropis, dan negara-negara ASEAN memiliki iklim
tersebut, saya dengar ada wacana pembentukan semacam RSPO namun untuk kawasan
ASEAN, kita tunggu saja,” katanya.
Janji yang tidak
terpenuhi oleh RSPO itu salah satunya adalah tidak terbuktinya harga premium untuk
tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit. Di sisi lain, petani membutuhkan
biaya besar untuk memperoleh sertifikat RSPO. Akibatnya, tidak ada petani
swadaya yang mampu memperoleh sertifikat RSPO. Sedangkan petani yang
mengantongi sertifikat RSPO adalah petani plasma karena mendapat bantuan dari
inti.
Persaingan Dagang
Beberapa pihak mengatakan hal ini merupakan siasat dagang dari
negara-negara Eropa dan Amerika karena minyak sawit
lebih efisien ketimbang tanaman minyak nabati lainnya. Luas kebun sawit
Indonesia saat ini 9,3 juta hektare (ha) dan 14 juta ha di dunia. Sedangkan
luas lahan kedelai dan bunga matahari yang diproduksi Amerika dan Eropa mencapai 500 juta
ha tetapi tidak diributkan.
Sebagaimana diketahui bahwa minyak
kelapa sawit merupakan sumber bahan baku Biodiesel yang efisien karena produktifitasnya yang tinggi, sekitar
5 ton/ha/tahun. Jauh lebih produktif dibanding minyak kedelai yang 0,4
ton/ha/tahun dan minyak bunga matahari 0.6 ton/ha/tahun, maupun minyak rapeesed 08 ton/ha/tahun. Mungkin ini
yang dikhawatirkan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika, sehingga menimbulkan
isu-isu negatif seputar perkebunan kelapa sawit. Apalagi Indonesia dan Malaysia
menguasai 85 % pangsa pasar CPO. Sehingga dua negara ini memiliki posisi tawar
yang kuat untuk menentukan harga.
Konsumsi solar dalam negeri saja diperkirakan 35 juta kiloliter/tahun, yang
jika kewajiban pencampuran 20 % dengan biodiesel
bisa dijalankan maka kurang lebih 5 juta ton minyak kelapa sawit dapat diserap
sebagai tambahan serapan pasar domestik,
diluar kebutuhan minyak goreng yang berkisar 6 juta ton dan kebutuhan oleochemical.(THI/WIE)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar