Rabu, 29 Januari 2014

Keluarnya GAPKI dan Malaysia dari RSPO


Malaysian Palm Oil Association (MPOA), akan keluar dari keanggotaan Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO). Alasannya, karena RSPO gagal membuktikan perannya dalam industri minyak sawit global. Sedangkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sudah mundur dari RSPO tahun lalu.
Menanggapi keluarnya GAPKI dan Malaysia dari RSPO, Yonas Sutisna mengatakan bahwa hal itu sah-sah saja karena menurutnya RSPO hanya menjadi ‘penghambat’ kemajuan perkebunan sawit. Lagipula setiap negara sudah punya rambu-rambu seperti ISPO untuk Indonesia dan MSPO untuk Malaysia yang lebih mumpuni. “Cukup aneh jika ada suatu standar yang dibuat untuk sawit, namun yang membuat adalah negara-negara eropa dan Amerika yang bukan penghasil sawit,” tuturnya.

Yonas juga mengungkapkan adanya wacana dari negara-negara Asia Tenggara sebagai penghasil sawit utama untuk membuat standar semacam RSPO. “Sawit banyak tumbuh di negara beriklim tropis, dan negara-negara ASEAN memiliki iklim tersebut, saya dengar ada wacana pembentukan semacam RSPO namun untuk kawasan ASEAN, kita tunggu saja,” katanya.

Janji yang tidak terpenuhi oleh RSPO itu salah satunya adalah tidak terbuktinya harga premium untuk tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit. Di sisi lain, petani membutuhkan biaya besar untuk memperoleh sertifikat RSPO. Akibatnya, tidak ada petani swadaya yang mampu memperoleh sertifikat RSPO. Sedangkan petani yang mengantongi sertifikat RSPO adalah petani plasma karena mendapat bantuan dari inti.

Persaingan Dagang

Beberapa pihak mengatakan hal ini merupakan siasat dagang dari negara-negara Eropa dan Amerika karena minyak sawit lebih efisien ketimbang tanaman minyak nabati lainnya. Luas kebun sawit Indonesia saat ini 9,3 juta hektare (ha) dan 14 juta ha di dunia. Sedangkan luas lahan kedelai dan bunga matahari yang diproduksi Amerika dan Eropa mencapai 500 juta ha tetapi tidak diributkan.

Sebagaimana diketahui bahwa minyak  kelapa sawit merupakan sumber bahan baku Biodiesel yang efisien karena produktifitasnya yang tinggi, sekitar 5 ton/ha/tahun. Jauh lebih produktif dibanding minyak kedelai yang 0,4 ton/ha/tahun dan minyak bunga matahari 0.6 ton/ha/tahun, maupun minyak rapeesed 08 ton/ha/tahun. Mungkin ini yang dikhawatirkan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika, sehingga menimbulkan isu-isu negatif seputar perkebunan kelapa sawit. Apalagi Indonesia dan Malaysia menguasai 85 % pangsa pasar CPO. Sehingga dua negara ini memiliki posisi tawar yang kuat untuk menentukan harga.

Konsumsi solar dalam negeri saja diperkirakan 35 juta kiloliter/tahun, yang jika kewajiban pencampuran 20 % dengan biodiesel bisa dijalankan maka kurang lebih 5 juta ton minyak kelapa sawit dapat diserap sebagai tambahan  serapan pasar domestik, diluar kebutuhan minyak goreng yang berkisar 6 juta ton dan kebutuhan oleochemical.(THI/WIE)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar