Indonesian Palm
Oil Conference IPOC kembali diadakan pada tanggal 27-29 November 2013, di Trans
Luxury Hotel Bandung. Event tahunan
yang diadakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ini menghadirkan kurang lebih 1307 dari 28 negara.
Dengan event ini diharapkan para pengusaha kelapa sawit
dapat semakin erat dengan pemangku kebijakan demi terciptanya perkebunan sawit
yang berkelanjutan.
Menurut Yonas Sutisna yang ketika itu ikut hadir dari konferensi tersebut
mengatakan bahwa tahun ini IPOC mengusung isu tentang
pemanfaatan Crude Palm Oil sebagai
biofuel “Isu yang paling hangat yakni sawit harus juga dapat menjadi bahan energi terbarukan,
dan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar harus swasembada, jangan
seperti minyak fosil, minyak tersebut milik kita namun yang mengolah orang luar
negeri, ini sungguh memprihatinkan,” tutur Yonas.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya memformulasikan
tantangan yang harus dihadapi dengan “ 3 plus 1.” Pertama adalah harga CPO yang
fluktuatif dan tidak bisa dikendalikan, Presiden menawarkan solusi untuk
meningkatkan pasar domestik dan meningkatkan serapan dalam negeri, khususnya Biofuels sebagai bagian dari program
Bahan Bakar Nabati Nasional, dan hal ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Sumber Daya Mineral RI nomor 25 tahun 2013, yang
mewajibkan minimal pemanfaatan biodiesel, Bioethanol, dan Bahan Bakar Nabati
untuk sektor transportasi PSO, Transportasi non PSO, Industri dan Komersial,
serta Pembangkit Listrik, sehingga di tahun 2025 target pemerintah, semua sektor
tersebut harus sudah menggunakan biodiesel.
Menurut pria yang akrab dipanggil Yonas ini, seharusnya
hal tersebut
menjadi ‘angin segar’ bagi pengusaha perkebunan sawit, karena dengan adanya
peraturan ini, tentunya akan mendukung produksi kelapa sawit secara massal. Namun Arifin
Panigoro CEO MEDCO Energy mengatakan jika keseluruhan CPO dari perusahaan sawit
di Indonesia dikumpulkan, masih belum dapat memenuhi kebutuhan akan Biofuel
tersebut.
Permasalahan kedua adalah trade
barrier (hambatan perdagangan), Presiden menekan adanya diplomasi dan
negosiasi yang ketat dengan negara pembeli. Forum-forum internasional seperti
WTO, APEC, dan G 20.
Yang ketiga adalah masalah lingkungan. Dengan adanya ISPO, Presiden
menegaskan agar pelaku industri kelapa sawit memedomaninya dengan baik. Dan
2014 semua perusahaan di sektor sawit harus sudah memiliki sertifikasi ini. Ia
juga menganjurkan untuk menjadikan
LSM-LSM sebagai mitra serta media cetak dan elektronik untuk melakukan
pembangunan opini.
Sedangkan yang plus ‘1’ adalah masalah sosial. Presiden SBY meminta agar
para pelaku usaha industri sawit mencegah konflik sosial yang terjadi, caranya
adalah dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam proses pengelolaan perkebunan
lokal maupun plasma.
Greenpeace akui sawit ramah
lingkungan
Presiden SBY juga bercerita bahwa ia pernah ditantang Greenpeace untuk menunjukan bahwa
Sawit tidak merusak
lingkungan, lalu segala kritik dan
masukan tersebut dipenuhi dalam rupa perbaikan-perbaikan. Setelah
beberapa tahun kemudian, Greenpeace kembali mengadakan penilaian dan mereka
telah menyetujui bahwa Sawit ramah lingkungan karena isu seperti Gas Efek Rumah
Kaca tidak terbukti, lahan hutan yang dibuka untuk perkebunan sawit dapat
kembali sesuai fungsinya, hanya saja heterogenitasnya berubah menjadi homogen.
Dalam situsnya, LSM yang bergerak di sektor lingkungan ini mengakui tidak
anti terhadap perkebunan sawit, namun segala yang dilakukannya hanya untuk
memberi masukan kepada pihak berkepentingan. Sehingga dengan demikian, sawit di
Indonesia mempunyai kredibilitas yang baik di mata dunia.
Dalam sambutannya Presiden SBY meminta Greenpeace turut serta membangun
opini positif kepada dunia, bahwa Indonesia sudah melakukan perbaikan-perbaikan
untuk menjalankan rambu-rambu yang telah ditentukan.
Presiden SBY mengharapkan adanya sinergi antara 3 pihak, yang ia sebut
dengan “kontrak tanggung jawab.” Pihak pertama ialah pemerintah. Pemerintah akan mendukung dengan membuat
regulasi yang tidak menyulitkan bagi para pengusaha, bahkan mendorong
investasi. Disamping itu juga pemerintah dibantu pihak swasta berkewajiban
untuk membangun infrastruktur untuk memudahkan distribusi CPO.
Pihak kedua ialah pelaku usaha. Pelaku usaha harus meningkatkan daya saing
dan produktifitas. Untuk itu sektor usaha harus mau membangun riset dan pengembangan,
tidak menggantungkan pada pemerintah. Ia juga meminta agar pelaku usaha masuk
dan mengembangkan sektor hilir, termasuk sektor energi khususnya Bahan Bakar
Nabati (BBN).
Yang ketiga adalah masyarakat sipil, dan media massa juga dibebankan
tanggung jawab. Masyarakat sipil dan LSM-LSM dipersilahkan mengkritisi apa yang
dilakukan pemerintah dan swasta, namun dilain pihak masyarat sipil dan LSM
harus membantu menjelaskan kepada pihak lain, misalnya luar negeri, bahwa
banyak perusahaan telah melaksanakan perbaikan yang signifikan. Media massa
mempunyai peran penting dalam membangun opini publik, bahkan seharusnya juga mampu
menyaring berita-berita dari media global sebelum menjadi konsumsi berita di
dalam negeri. Sudah saatnya media massa
menjadi pilar pembangunan Indonesia yang dituntut untuk memperjuangkan
kepentingan nasional. (THI/WIE)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar