Rabu, 29 Januari 2014

IPOC SINERGIKAN PEMERINTAH DENGAN PARA PELAKU USAHA



Indonesian Palm Oil Conference IPOC kembali diadakan pada tanggal 27-29 November 2013, di Trans Luxury Hotel Bandung. Event tahunan yang diadakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ini menghadirkan kurang lebih 1307 dari 28 negara.

Dengan event  ini diharapkan para pengusaha kelapa sawit dapat semakin erat dengan pemangku kebijakan demi terciptanya perkebunan sawit yang berkelanjutan.

Menurut Yonas Sutisna yang ketika itu ikut hadir dari konferensi tersebut mengatakan bahwa tahun ini IPOC mengusung isu tentang pemanfaatan Crude Palm Oil sebagai biofuel “Isu yang paling hangat yakni sawit harus juga dapat menjadi bahan energi terbarukan, dan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar harus swasembada, jangan seperti minyak fosil, minyak tersebut milik kita namun yang mengolah orang luar negeri, ini sungguh memprihatinkan,” tutur Yonas.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya memformulasikan tantangan yang harus dihadapi dengan “ 3 plus 1.” Pertama adalah harga CPO yang fluktuatif dan tidak bisa dikendalikan, Presiden menawarkan solusi untuk meningkatkan pasar domestik dan meningkatkan serapan dalam negeri, khususnya Biofuels sebagai bagian dari program Bahan Bakar Nabati Nasional, dan hal ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Sumber Daya Mineral RI nomor 25 tahun 2013, yang mewajibkan minimal pemanfaatan biodiesel, Bioethanol, dan Bahan Bakar Nabati untuk sektor transportasi PSO, Transportasi non PSO, Industri dan Komersial, serta Pembangkit Listrik, sehingga di tahun 2025 target pemerintah, semua sektor tersebut harus sudah menggunakan biodiesel.

Menurut pria yang akrab dipanggil Yonas ini, seharusnya hal tersebut menjadi ‘angin segar’ bagi pengusaha perkebunan sawit, karena dengan adanya peraturan ini, tentunya akan mendukung produksi kelapa sawit secara massal. Namun Arifin Panigoro CEO MEDCO Energy mengatakan jika keseluruhan CPO dari perusahaan sawit di Indonesia dikumpulkan, masih belum dapat memenuhi kebutuhan akan Biofuel tersebut.  
Permasalahan kedua adalah trade barrier (hambatan perdagangan), Presiden menekan adanya diplomasi dan negosiasi yang ketat dengan negara pembeli. Forum-forum internasional seperti WTO, APEC, dan G 20.

Yang ketiga adalah masalah lingkungan. Dengan adanya ISPO, Presiden menegaskan agar pelaku industri kelapa sawit memedomaninya dengan baik. Dan 2014 semua perusahaan di sektor sawit harus sudah memiliki sertifikasi ini. Ia juga menganjurkan untuk  menjadikan LSM-LSM sebagai mitra serta media cetak dan elektronik untuk melakukan pembangunan opini.

Sedangkan yang plus ‘1’ adalah masalah sosial. Presiden SBY meminta agar para pelaku usaha industri sawit mencegah konflik sosial yang terjadi, caranya adalah dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam proses pengelolaan perkebunan lokal maupun plasma.

Greenpeace akui sawit ramah lingkungan

Presiden SBY juga bercerita bahwa ia pernah ditantang Greenpeace untuk menunjukan bahwa Sawit tidak merusak lingkungan, lalu segala kritik dan masukan tersebut dipenuhi dalam rupa perbaikan-perbaikan. Setelah beberapa tahun kemudian, Greenpeace kembali mengadakan penilaian dan mereka telah menyetujui bahwa Sawit ramah lingkungan karena isu seperti Gas Efek Rumah Kaca tidak terbukti, lahan hutan yang dibuka untuk perkebunan sawit dapat kembali sesuai fungsinya, hanya saja heterogenitasnya berubah menjadi homogen.

Dalam situsnya, LSM yang bergerak di sektor lingkungan ini mengakui tidak anti terhadap perkebunan sawit, namun segala yang dilakukannya hanya untuk memberi masukan kepada pihak berkepentingan. Sehingga dengan demikian, sawit di Indonesia mempunyai kredibilitas yang baik di mata dunia.
Dalam sambutannya Presiden SBY meminta Greenpeace turut serta membangun opini positif kepada dunia, bahwa Indonesia sudah melakukan perbaikan-perbaikan untuk menjalankan rambu-rambu yang telah ditentukan.

Presiden SBY mengharapkan adanya sinergi antara 3 pihak, yang ia sebut dengan “kontrak tanggung jawab.” Pihak pertama ialah pemerintah. Pemerintah akan mendukung dengan membuat regulasi yang tidak menyulitkan bagi para pengusaha, bahkan mendorong investasi. Disamping itu juga pemerintah dibantu pihak swasta berkewajiban untuk membangun infrastruktur untuk memudahkan distribusi CPO.
Pihak kedua ialah pelaku usaha. Pelaku usaha harus meningkatkan daya saing dan produktifitas. Untuk itu sektor usaha harus mau membangun riset dan pengembangan, tidak menggantungkan pada pemerintah. Ia juga meminta agar pelaku usaha masuk dan mengembangkan sektor hilir, termasuk sektor energi khususnya Bahan Bakar Nabati (BBN).

Yang ketiga adalah masyarakat sipil, dan media massa juga dibebankan tanggung jawab. Masyarakat sipil dan LSM-LSM dipersilahkan mengkritisi apa yang dilakukan pemerintah dan swasta, namun dilain pihak masyarat sipil dan LSM harus membantu menjelaskan kepada pihak lain, misalnya luar negeri, bahwa banyak perusahaan telah melaksanakan perbaikan yang signifikan. Media massa mempunyai peran penting dalam membangun opini publik, bahkan seharusnya juga mampu menyaring berita-berita dari media global sebelum menjadi konsumsi berita di dalam negeri. Sudah saatnya  media massa menjadi pilar pembangunan Indonesia yang dituntut untuk memperjuangkan kepentingan nasional. (THI/WIE)

Keluarnya GAPKI dan Malaysia dari RSPO


Malaysian Palm Oil Association (MPOA), akan keluar dari keanggotaan Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO). Alasannya, karena RSPO gagal membuktikan perannya dalam industri minyak sawit global. Sedangkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sudah mundur dari RSPO tahun lalu.
Menanggapi keluarnya GAPKI dan Malaysia dari RSPO, Yonas Sutisna mengatakan bahwa hal itu sah-sah saja karena menurutnya RSPO hanya menjadi ‘penghambat’ kemajuan perkebunan sawit. Lagipula setiap negara sudah punya rambu-rambu seperti ISPO untuk Indonesia dan MSPO untuk Malaysia yang lebih mumpuni. “Cukup aneh jika ada suatu standar yang dibuat untuk sawit, namun yang membuat adalah negara-negara eropa dan Amerika yang bukan penghasil sawit,” tuturnya.

Yonas juga mengungkapkan adanya wacana dari negara-negara Asia Tenggara sebagai penghasil sawit utama untuk membuat standar semacam RSPO. “Sawit banyak tumbuh di negara beriklim tropis, dan negara-negara ASEAN memiliki iklim tersebut, saya dengar ada wacana pembentukan semacam RSPO namun untuk kawasan ASEAN, kita tunggu saja,” katanya.

Janji yang tidak terpenuhi oleh RSPO itu salah satunya adalah tidak terbuktinya harga premium untuk tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit. Di sisi lain, petani membutuhkan biaya besar untuk memperoleh sertifikat RSPO. Akibatnya, tidak ada petani swadaya yang mampu memperoleh sertifikat RSPO. Sedangkan petani yang mengantongi sertifikat RSPO adalah petani plasma karena mendapat bantuan dari inti.

Persaingan Dagang

Beberapa pihak mengatakan hal ini merupakan siasat dagang dari negara-negara Eropa dan Amerika karena minyak sawit lebih efisien ketimbang tanaman minyak nabati lainnya. Luas kebun sawit Indonesia saat ini 9,3 juta hektare (ha) dan 14 juta ha di dunia. Sedangkan luas lahan kedelai dan bunga matahari yang diproduksi Amerika dan Eropa mencapai 500 juta ha tetapi tidak diributkan.

Sebagaimana diketahui bahwa minyak  kelapa sawit merupakan sumber bahan baku Biodiesel yang efisien karena produktifitasnya yang tinggi, sekitar 5 ton/ha/tahun. Jauh lebih produktif dibanding minyak kedelai yang 0,4 ton/ha/tahun dan minyak bunga matahari 0.6 ton/ha/tahun, maupun minyak rapeesed 08 ton/ha/tahun. Mungkin ini yang dikhawatirkan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika, sehingga menimbulkan isu-isu negatif seputar perkebunan kelapa sawit. Apalagi Indonesia dan Malaysia menguasai 85 % pangsa pasar CPO. Sehingga dua negara ini memiliki posisi tawar yang kuat untuk menentukan harga.

Konsumsi solar dalam negeri saja diperkirakan 35 juta kiloliter/tahun, yang jika kewajiban pencampuran 20 % dengan biodiesel bisa dijalankan maka kurang lebih 5 juta ton minyak kelapa sawit dapat diserap sebagai tambahan  serapan pasar domestik, diluar kebutuhan minyak goreng yang berkisar 6 juta ton dan kebutuhan oleochemical.(THI/WIE)